Masa orde Baru
Dikeluarkannya paket deregulasi 27
Oktober 1988 (Pakto 88), antara lain berupa relaksasi ketentuan permodalan
untuk pendirian bank baru telah menyebabkan munculnya sejumlah bank umum
berskala kecil dan menengah. Pada akhirnya, jumlah bank umum di Indonesia
membengkak dari 111 bank pada Oktober 1988 menjadi 240 bank pada tahun 1994‐1995, sementara jumlah Bank Perkreditan Rakyat (BPR)
meningkat drastis dari 8.041 pada tahun 1988 menjadi 9.310 BPR pada tahun 1996.
Fungsi utama perbankan pada masa
setelah kemerdekaan sampai dengan sebelum adanya deregulasi tidak banyak
mengalami perubahan, yaitu :
■ Memobilisasikan dana dari investor
untuk membiaya kebutuhan dana investasi dan modal kerja perusahaan-perusahaan
besar milik pemerintah dan swasta.
■ Memberikan jasa-jasa keuangan
kepada perusahaan-perusahaan besar.
■ Mengadministrasikan anggaran
pemerintah untuk membiayai kegiatan pemerintah
■ Menyalurkan dana anggaran untuk
membiayai program dan proyek pada sektor-sektor yang ingin dikembangkan oleh
pemerintah.Keadaan perbankan masa belum adanya perangkat peraturan dan
perundang-undangan yang secara khusus mengatur dunia perbankan, adalah :
■ Tidak adanya peraturan perundangan
yang mengatur secara jelas tentang perbankan di Indonesia. Sampai akhir tahun
1960-an hanya ada UU No. 13 tahun 1968 yang isinya tidak mengatur secara jelas
tentang perbankan di Indonesia, lebih cenderung mempertegas kuatnya campur
tangan pemerintah di dunia perbankan, yaitu tentang kedudukan bank sentral dan
dewan moneter.
■ Kredit Likuiditas Bank Indonesia
(KLBI) pada bank-bank tertentu
KLBI diberikan bukan
dalam pengertian yang baku, yaitu untuk mengatasi kesulitan likuiditas,
melainkandiberikan justeru untuk tujuan ekspansif.
■ Bank banyak menanggung program
pemerintah bank harus menjalankan kegiatan perbankan yang erat kaitannya dengan
program atau proyek pemerintah.
■ Instrumen pasar uang yang
terbatas. Instrumen yang terdapat pada pasar uang, yaitu berupa Surat Berharga
Pasar Uang(SBPU) dan belum mengenal adanya Serifikat Bank Indonesia (SBI).
■ Jumlah bank swasta yang relatif
sedikit, yaitu :
§ BRI (1951) semula bernama Algemene Volkcrediet Bank.
§ Bank Ekpor Impor (1968) sebagai nasionalisasi dari berbagai
kegiatan Nederlandshe Handel
Maatschappij di bidang lalu lintas pembayaran internasional.
§ Bank Bumi Daya (1968) sebagai nasionalisasi dari sebagian
kegiatan Nederlandshe Handel Maatschappij di bidang perkebunan-perkebunan
besar.
§ Bank dagang Negara (1960) sebagai nasionalisasi dari
kegiatan Escomptobank NV.
§ Bank Tabungan Negara (1963) sebagai nasionalisasi dari Bank
Tabungan Pos pada jaman Hindia Belanda.
§ BNI (1946) didirikan pada awalnya sebagai bank sentral
selama masa perjuangan melawan agresi militer Belanda tahun 1946-1949.
§ Bank Pembangunan Indonesia (1960) didirikan pada awalnya
untuk mendorong pembangunan industri manufaktur, pertambangan, dan perkebunan.
Perekonomian
Indonesia masih mengalami pasang-surut, pemerintah melakukan kebijakan
deregulasi dan debirokratisasi yang dijalankan secara bertahap pada sektor
keuangan dan perekonomian. Bank Indonesia tetap berdasarkan Undang- Undang (UU)
No. 13/1968 tentang bank sentral dan beberapa pasal dalam UU No. 14/1967
tentang perbankan. Namun demikian, dalam pelaksanaannya terjadi perubahan
fundamental karena segala kebijakan yang dilaksanakan Bank Indonesia (BI)
dilakukan berdasarkan kebijakan deregulasi dan debirokratisasi yang dijalankan
pemerintah. Salah satu maksud dari kebijakan deregulasi dan debirokratisasi adalah
upaya untuk membangun suatu sistem perbankan yang sehat, efisien, dan tangguh.
Kondisi
perekonomian pada akhir periode 1982/1983 kurang menguntungkan, baik karena
faktor eksternal maupun internal. Kemampuan pemerintah untuk menopang dana
pembangunan semakin berkurang, untuk itu dilakukan perubahan strategi untuk
mendorong peranan swasta agar lebih besar. Dampak dari over-regulated terhadap
perbankan adalah kondisi stagnan dan hilangnya inisiatif perbankan. Hal
tersebut mendorong BI melakukan deregulasi perbankan untuk memodernisasi
perbankan sesuai dengan tuntutan masyarakat, dunia usaha, dan kehidupan ekonomi
pada periode tersebut.
Pada
1983, tahap awal deregulasi perbankan dimulai dengan penghapusan pagu kredit,
bank bebas menetapkan suku bunga kredit, tabungan, dan deposito, serta
menghentikan pemberian Kredit Likuiditas Bank Indonesia (KLBI) kepada semua
bank kecuali untuk jenis kredit tertentu yang berkaitan dengan pengembangan
koperasi dan ekspor. Tahap awal deregulasi tersebut berhasil menumbuhkan iklim
persaingan antar bank.
Banyak
bank, terutama bank swasta, mulai bangkit untuk mengambil inisiatif dalam
menentukan arah perkembangan usahanya. Seiring dengan itu, BI memperkuat sistem
pengawasan bank yang di antaranya melalui penyusunan dan pemeliharaan blacklist
yang diberi nama resmi Daftar Orang-Orang yang Melakukan Perbuatan Tercela
(DOT) di bidang perbankan. Mereka yang masuk dalam daftar ini tidak boleh lagi
berkecimpung dalam dunia perbankan.
Masa Krisis ( 1997 – 1998 )
Pertumbuhan
pesat yang terjadi pada periode 1988 – 1996 berbalik arah ketika memasuki
periode 1997 – 1998 karena terbentur pada krisis keuangan dan perbankan. Bank
Indonesia, Pemerintah, dan juga lembaga‐lembaga
internasional berupaya keras menanggulangi krisis tersebut, antara lain dengan
melaksanakan rekapitalisasi perbankan yang menelan dana lebih dari Rp 400
triliun terhadap 27 bank dan melakukan pengambilalihan kepemilikan terhadap 7
bank lainnya. Secara spesifik langkah‐langkah yang
dilakukan untuk menanggulangi krisis keuangan dan perbankan tersebut adalah :
a) Penyediaan
likuiditas kepada perbankan yang dikenal dengan Bantuan Likuiditas Bank
Indonesia (BLBI)
b)
mengidentifikasi dan merekapitalisasi bank‐bank yang masih
memiliki potensi untuk melanjutkan kegiatan usahanya dan bank‐bank
yang memiliki dampak yang signifikan terhadap kebijakannya
c) Menutup bank‐bank
yang bermasalah dan melakukan konsolidasi perbankan dengan melakukan marger
d) Mendirikan
lembaga khusus untuk menangani masalah yang ada di industri perbankan seperti
Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN)
e) Memperkuat
kewenangan Bank Indonesia dalam pengawasan perbankan melalui penetapan Undang‐Undang
No. 23/1999 tentang Bank Indonesia yang menjamin independensi Bank Indonesia
dalam penetapan kebijakan
Meskipun istilah
yang digunakan “deregulasi”, namun tidak berarti bahwa perubahan yang dilakukan
sepenuhnya berupa pengurangan pembatasan atau pengaturan di dunia perbankan.
Deregulasi lebih tepat diartikan sebagai perubahan-perubahan yang dimotori oleh
otoritas moneter untuk meningkatkan dunia perbankan dan pada akhirnya juga
diharapkan akan meningkatkan kinerja sektor riil.
Kebijakan
deregulasi yang telah dilakukan :
■ Paket 1 Juni
1983 yang berisi tentang :
Ø Penghapusan
pagu kredit dan pembatasan aktiva lain sebagai instrumen pengendali Jumlah Uang
Beredar (JUB).
Ø Pengurangan
KLBI kecuali untuk sektor-sektor tertentu.
Ø Pemberian
kebebasan bank untuk menetapkan suku bunga simpanan dan pinjaman kecuali untuk
sektor-sektor tertentu.
■ Bank Indonesia
sejak 1984 mengeluarkan SBI.
■ Bank Indonesia
sejak 1985 mengeluarkan ketentuan perdagangan SBPU dan fasilitas diskonto oleh
BI.
■ Paket 27
Oktober 1988 yang berisi tentang : Pengerahan dana masyarakat, yang meliputi :
o
Kemudahan
pembukaan kantor bank.
o
Kejelasan
aturan pendirian bank.
o
Bank
dan lembaga keuangan bukan bank bisa menerbitkan sertifikat deposito
o
dan tanpa perlu
izin.
o
Semua
bank dapat meyelenggarakan tabanas dan tabungan lain.
■ Paket 28
Pebruari 1991, berisi tentang : Penyempurnaan paket sebelumnya menuju
penyelenggaraan lembaga keuangan dengan
prinsip kehati-hatian, sehingga dapat tetap mempertahankan kepercayaan
masyarakat terhadap lembaga keuangan.
■ UU No. 7 Tahun
1992 tentang Perbankan.
■ Paket 29 Mei
1993 yang berisi tentang penyempurnaan aturan kesehatan bank meliputi :
·
CAR
(Capital Adequacy Ratio)
·
Batas
Maksimum Pemberian Kredit
·
Kredit
Usaha Kecil
·
Pembentukan
cadangan piutang
·
Loan
to Deposit Ratio
Pada tahun 1988,
pemerintah bersama BI melangkah lebih lanjut dalam deregulasi perbankan dengan
mengeluarkan Paket Kebijakan Deregulasi Perbankan 1988 (Pakto 88) yang menjadi
titik balik dari berbagai kebijakan penertiban perbankan 1971–1972. Pemberian
izin usaha bank baru yang telah dihentikan sejak tahun 1971 dibuka kembali oleh
Pakto 88. Demikian pula dengan ijin pembukaan kantor cabang atau pendirian BPR
menjadi lebih dipermudah dengan persyaratan modal ringan. Suatu kemudahan yang
sebelumnya belum pernah dirasakan oleh dunia perbankan. Salah satu ketentuan
fundamental dalam Pakto 88 adalah perijinan untuk bank devisa yang hanya
mensyaratkan tingkat kesehatan dan aset bank telah mencapai minimal Rp 100
juta.
Namun demikian,
Pakto 88 juga mempunyai efek samping dalam bentuk penyalahgunaan kebebasan dan
kemudahan oleh para 3 pengurus bank. Bersamaan dengan kebijakan Pakto 88, BI
secara intensif memulai pengembangan bank bank sekunder seperti bank pasar,
bank desa, dan badan kredit desa. Kemudian bank karya desa diubah menjadi Bank
Perkreditan Rakyat (BPR).
Tujuan
pengembangan BPR tersebut adalah untuk memperluas jangkauan bantuan pembiayaan
untuk mendorong peningkatan ekonomi, terutama di daerah pedesaan, di samping
untuk modernisasi sistem keuangan pedesaan. Dalam Pakto 1988, juga dibuka
kesempatan untuk mendirikan bank umum dan bank pembangunan baik yang berbadan
hukum perseroan terbatas maupun koperasi dengan syarat yang lebih
sederhana, suatu bank dapat didirikan dengan modal 10 milyar rupiah.
Paket
kebijaksanaan ini juga menentukan bahwa bank swasta nasional, bank perkreditan
rakyat (BPR), termasuk lembaga dana dan kredit pedesaan (LDKP), dapat
didirikan di luar ibukota negara, ibu kota propinsi dan ibukota Dati
II, serta dapat berbentuk perseroan terbatas atau koperasi.
Kebijaksanaan
baru tersebut juga memberi keringanan persyaratan bagi bank-bank yang ingin
meningkatkan statusnya menjadi bank devisa (melayani transaksi devisa), membuka
kemungkinan pendirian bank campuran (join kerjasama dengan bank asing) dan
memberi kesempatan bagi bank asing untuk membuka kantor cabang pembantu di
kota-kota tertentu.
Di samping
kemudahan-kemudahan tersebut, disempurnakan juga ketentuan mengenai kewajiban
bank untuk memelihara likuiditas minimum baik dalam rupiah maupun valuta asing,
yaitu dari 15 persen menjadi 2 persen yang juga berlaku bagi LKBB
(Lembaga Keuangan Bukan Bank. Misalnya seperti perusahaan financing yang bentuk
usahanya bukan bank).
Untuk
penyempurnaan Pakto 88, dikeluarkan Paket 25 Maret 1989 yang antara lain memuat
ketentuan-ketentuan penilaian kesehatan bank hasil merger, komponen modal untuk
perhitungan capital adequacy lebih diperjelas, ketentuan mengenai lending limit
dan memberi kesempatan yang lebih luas bagi bank untuk melakukan penyertaan
dana pada lembaga-lembaga lain serta memberikan kredit investasi jangka
menengah dan panjang. Berbagai kemudahan tersebut berdampak cukup
luas kalau tidak mengatakan peletak landasan baru bagi industri perbankan di
Indonesia.
Kalangan
investor/swasta tertarik untuk berekspansi dalam industri perbankan. Sebagai
akibatnya perkembangan bank swasta nasional mengalami pertumbuhan yang sangat
pesat dan laju pertumbuhannya telah mampu mematahkan dominasi bank pemerintah.
Hal ini dapat dilihat dari semakin banyaknya bermunculan bank-bank baru dan
juga pembukaan kantor-kantor bank, terutama oleh bank swasta. Pada
tahun tersebut banyak kelompok-kelompok perusahaan besar mendirikan bank-bank
baru. Kelompok usaha Bakrie misalnya, mendirikan Nusa Bank, Subentra Group
mendirikan Bank Subentra, Jaya Group mendirikan Jaya Bank serta beberapa
kelompok perusahaan lainnya.
Memasuki tahun
1990-an, BI mengeluarkan Paket Kebijakan Februari 1991 yang berisi ketentuan
yang mewajibkan bank berhati-hati dalam pengelolaannya. Pada 1992 dikeluarkan
UU Perbankan menggantikan UU No. 14/1967. Sejak saat itu, terjadi perubahan
dalam klasifikasi jenis bank, yaitu bank umum dan BPR.
UU Perbankan
1992 juga menetapkan berbagai ketentuan tentang kehati-hatian pengelolaan bank
dan pengenaan sanksi bagi pengurus bank yang melakukan tindakan sengaja yang
merugikan bank, seperti tidak melakukan pencatatan dan pelaporan yang benar,
serta pemberian kredit fiktif, dengan ancaman hukuman pidana. Selain itu, UU
Perbankan 1992 juga memberi wewenang yang luas kepada Bank Indonesia untuk
melaksanakan fungsi pengawasan terhadap perbankan.
Pada periode
1992-1993, perbankan nasional mulai menghadapi permasalahan yaitu meningkatnya
kredit macet yang menimbulkan beban kerugian pada bank dan berdampak keengganan
bank untuk melakukan ekspansi kredit. BI menetapkan suatu program khusus untuk
menangani kredit macet dan membentuk Forum Kerjasama dari Gubernur BI, Menteri Keuangan,
Kehakiman, Jaksa Agung, Menteri/Ketua Badan Pertahanan Nasional, dan Ketua
Badan Penyelesaian Piutang Negara. Selain kredit macet, yang menjadi penyebab
keengganan bank dalam melakukan ekspansi kredit adalah karena ketatnya
ketentuan dalam Pakfeb 1991 yang membebani perbankan. Hal itu ditakutkan akan
mengganggu upaya untuk mendorong pertumbuhan ekonomi.
Maka,
dikeluarkanlah Pakmei 1993 yang melonggarkan ketentuan kehati-hatian yang
sebelumnya ditetapkan dalam Pakfeb 1991. Berikutnya, sejak 1994 perekonomian
Indonesia mengalami booming economy dengan sektor properti sebagai pilihan
utama. Keadaan itu menjadi daya tarik bagi investor asing.
Pakmei 1993
ternyata memberikan hasil pertumbuhan kredit perbankan dalam waktu yang sangat
singkat dan melewati tingkat yang dapat memberikan tekanan berat pada upaya
pengendalian moneter. Kredit perbankan dalam jumlah besar mengalir deras ke
berbagai sektor usaha, terutama properti, meski BI telah berusaha membatasi.
Keadaan ekonomi mulai memanas dan inflasi meningkat.
Pasca Krisis
Berdasarkan
Undang-undang No. 7 Tahun 1992 tersebut diatur kembali struktur perbankan,
ruang lingkup kegiatan, syarat pendirian, peningkatan perlindungan dana
masyarakat dengan jalan menerapkan prinsip kehati-hatian dan memenuhi
persyaratan tingkat kesehatan bank, serta peningkatan profesionalisme para
pelakunya. Dengan undang-undang tersebut juga ditetapkan penataan badan hukum
bank-bank pemerintah, landasan kegiatan usaha bank berdasarkan prinsip bagi
hasil (syariah), serta sanksi sanksi ancaman pidana terhadap yang melakukan
pelanggaran ketentuan perbankan.
Sebagai
rangkaian kebijakan deregulasi dengan mengantisipasi perkembangan sebagaimana
diuraikan di atas, pada 17 Desember 1990 Bank Indonesia menetapkan Pola Dasar
Pengawasan dan Pembinaan Bank yang dimaksudkan untuk menyesuaikan pola
pengawasan dan pembinaan bank agar tetap diarahkan untuk meningkatkan
kedewasaan dan kemandirian dalam pola pikir dan sikap yang bertanggungjawab
dalam mengamankan kepentingan masyarakat serta menunjang pembangunan ekonomi.
Pola
dasar pengawasan dan pembinaan bank harus dikembangkan sebagai konsep yang
terintegrasi dengan dunia perbankan dan pihak-pihak lain yang terkait. Untuk
meningkatkan praktek kehati-hatian bagi perbankan, Bank Indonesia mengeluarkan
Paket Kebijakan tanggal 28 Februari 1991 (Pakfeb 1991) tentang Penyempurnaan
Pengawasan dan Pembinaan Bank, yang memulai penerapan rambu-rambu kehati-hatian
yang mengacu pada standar perbankan internasional yang antara lain meliputi
ketentuan mengenai Kewajiban Penyediaan Modal Minimum, Pembentukan Penyisihan
Aktiva Produktif.
Bertalian
dengan ketentuan pasal 54 Undang-undang Perbankan 1992 yang menetapkan bahwa
bank pemerintah harus menyesuaikan bentuk hukum lembaga selambat-lambatnya
setahun sejak dikeluarkannya undang-undang tersebut, Bank Indonesia membantu
bank-bank yang bersangkutan termasuk pemegang saham yang dalam hal ini diwakili
oleh Menteri Keuangan untuk melakukan persiapanpersiapan yang diperlukan dalam
rangka mewujudkan penyesuaian yang diwajibkan. Sebelum berakhirnya batas waktu,
ketujuh bank pemerintah telah dapat melakukan penyesuaian sehingga untuk
selanjutnya nama resmi yang digunakan oleh bank-bank tersebut adalah :
(i) Bank
Negara Indonesia (Persero)
(ii)
Bank Bumi Daya (Persero)
(iii)
Bank Rakyat Indonesia (Persero)
(iv)
Bank Dagang Negara (Persero)
(v)
Bank Ekspor Impor Indonesia (Persero)
(vi)Bank
Pembangunan Indonesia (Persero) dan
(vii)Bank
Tabungan Negara (Persero).
Krisis
perbankan yang demikian parah pada kurun waktu 1997 – 1998memaksa pemerintah dan
Bank Indonesia untuk melakukan pembenahan di sektor perbankan dalam rangka
melakukan stabilisasi sistem keuangan dan mencegah terulangnya krisis. Langkah
penting yang dilakukan sehubungan dengan itu adalah:
a)
Memperkuat kerangka pengaturan dengan menyusun rencana implementasi yang jelas
untuk memenuhi 25 Basel Core Principles for Effective Banking Supervision yang
menjadi standard internasional bagi pengawasan bank
b)
Meningkatkan infrastruktur sistem pembayaran dengan mengembangkan Real Time
Gross Settlements (RTGS)
c)
Menerapkan bank guarantee scheme untuk melindungi simpanan masyarakat di bank
d)
Merekstrukturisasi kredit macet, baik yang dilakukan oleh BPPN, Prakarsa
Jakarta maupun Indonesian Debt Restrukturing Agency (INDRA)
e)
Melaksanakan program privatisasi dan divestasi untuk bankbank BUMN dan bank‐bank
yang direkap
f)
Meningkatkan persyaratan modal bagi pendirian bank baru.
Perjalanan
perekonomian Indonesia di tahun 2008 penuh dengan tantangan dan kendala yang
harus dihadapi, sehingga memaksa para pelaku usaha dan pengusaha dari berbagai
sektor merevisi target pendapatan, pertumbuhan dan rencana bisnis investasinya.
Pasalnya siapa yang menduga, krisis keuangan global terjadi di tahun ini dan
akibatnya dampak tersebut mulai dirasakan negara berkembang, khususnya
Indonesia.
Meskipun
dampak dirasakan belum separah yang dialami negara maju, dimana sumber
tsunaminya berasal. Namun ada khwatiran dari pelaku ekonomi dan pengusaha dalam
negeri. Pasalnya banyak ramalan dan analisis dari pengamat ekonomi
memperkirakan dampak dari resesi ekonomi dunia akan terasa pada tahun depan,
sehingga memaksa pemerintah harus bekerja keras memutar otak mengantisipasi
dampak lebih buruk ditahun mendatang.
Krisis
ekonomi global mulai ditandai dengan runtuhnya lembaga keuangan terbesar di
dunia asal Amerika Lehman Brother, kredit macet sektor perumahan (subprime
mortgage) dan disusul kebangkrutan industri otomotifnya, seperti General Motor
dan Ford. Musibah yang menimpa di Amerika juga serentak dirasakan negara-negara
maju Eropa. Maka tak ayal, negara maju saja tidak bisa mengelak dari krisis
keuangan global dan apalagi negara berkembang seperti Indonesia.
Ternyata
betul saja, dampak krisis sempat memberikan sentimen buruk bagi lembaga
keuangan bank dan non bank di Indonesia. Pasar modal dalam negeri juga sempat
terkoreksi pada level yang paling buruk dampak menularnya kejatuhan pasar bursa
di Wall Street. Terkoreksinya pasar bursa dalam negeri sempat membuat otoritas
bursa menutup (suspensi) pasar dalam waktu dua hari.
Kepanikan
Akibat Rumor Negatif
Muncul
kabar dan rumor negatif adanya redemption di pasar modal oleh para investor
asing guna menutupi keuangan di negaranya, telah membuat nilai tukar rupiah
terus melorot dan jatuhnya indek harga saham gabungan (IHSG).
Akibatnya,
kepanikan para nasabah perbankan dalam negeri bertambah dan mereka menilai
menyimpan dana di bank sudah tidak aman lagi.
Beberapa
kali pemerintah mencoba menyakinkan masyarakat, krisis yang terjadi tidak akan
menjadikan perekonomian Indonesia terpuruk sebagaimana yang terjadi di tahun
1998. Pasalnya fundamental ekonomi di Indonesia masih kuat dan perbankan masih
berjalan sehat.
Tingginya
intensitas rumor negatif yang beradar di masyarakat, akhirnya mempertegas
kondisi perbankan Indonesia sedang mengalami ketatnya likuiditas antar bank.
Gagal kriliring akibat kesulitan likuiditas yang dialami bank Century menjadi
bukti nyata dampak rumor telah meresahkan sektor perbankan. Maklum saja lembaga
perbankan sangat sensitif dengan kabar dan rumor tersebut.
Banyaknya
beredar rumor menjadi momok menakutkan bagi sektor perbankan dan akhirnya
membuat pemerintah geram. Kekesalan pemerintah terhadap penyebar rumor berbuah
hasil dengan ditangkapnya broker PT Bahana Securitas, Erick Jazier Adriansyah
pada awal November.
Modus
yang dilakukan si penyebar rumor likuiditas perbankan nasional ini dengan
menyebarkan surat elektronik kepada sejumlah kliennya yang isinya bahwa lima
bank dalam keadaan kesulitan keuangan, yaitu Bank Artha Graha Internasional,
Bank Bukopin, Bank Century, Bank Panin, dan Bank Victoria.
Dengan
alasan untuk mengembalikan kepercayaan nasabah dan menjaga dampak sistemik
keuangan di Indonesia, pemerintah mengambil alih bank Century melalui Lembaga
Penjamin Simpanan dengan menyuntikkan dana hingga Rp2 triliun. Kasus diambil
alihnya Century oleh pemerintah telah menjadi tamparan telah bagi Bank
Indonesia. Pasalnya, sebagai bank sentral, BI dinilai lemah dalam melakukan
pengawasan antar Bank. Anggota DPR Komisi XI Drajat Wibowo mengatakan, kasus
Century bukan hanya tanggung jawab penyebar rumor negatif tetapi juga tanggung
jawab BI, karena gagalnya melakukan pengawasan antar bank.
Di
tengah tingginya persaingan perbankan merebut pasar dalam negeri, ternyata
dampak krisis keuangan global membuat bisnis bank-bank BUMN harus direvisi dan
bahkan lebih bersikap hati-hati dalam mengucurkan kreditnya. Tidak mau
menimbulkan kredit macet dan tingginya Non Performance Loan (NPL), sekarang
perbankan harus lebih berhati-hati dan selektif menyalurkan kreditnya.
Hal
semacam inilah yang dilakukan PT Bank Mandiri Tbk (BMRI) yang lebih selektif
memberikan kucuran kredit kepada nasabahnya, khususnya disektor perkebunan
kelapa sawit. “Kita tidak menurunkan kredit perbankan untuk sektor perkebunan,
tetapi akan lebih selektif” kata Direktur Risk Management Bank Mandiri Sentot A
Sentausa.
Menurutnya,
apa yang dilakukan Bank Mandiri dengan cara tersebut sebagai upaya
mengantisipasi terjadinya kredit macet yang tinggi, sebagaimana pengalaman yang
terjadi di tahun 2005. Masih labilnya kondisi ekonomi dan ancaman lambatnya
pertumbuhan ekonomi di tahun mendatang, membuat kebijakan Bank Indonesia
tentang kepemilikan tunggal (Single Pressence Policy/SPP) berjalan di tempat
dan tidak ada progress yang signifikan, kendatipun BI sudah mengundurkan target
penerapan peraturan tersebut dari semula pada akhir 2008 menjadi akhir 2010.
Daftar
Pustaka
referense
:
http://tsetyaernawati.wordpress.com/2011/07/20/perkembangan-perbankan-di-indonesia/
http://p21din.blog.com/files/2011/02/TUGAS-PERKEMBANGAN-PERBANKAN-blog.pdf
http://widyanurhayati.blogspot.com/2011/12/perkembangan-perbankan-di-indonesia.html
Tidak ada komentar :
Posting Komentar