BAB I
PENDAHULUAN
Sumber
Daya Alam (biasa disingkat SDA) adalah segala sesuatu yang berasal dari alam
yang dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan manusia. Secara teoritis, SDA dibagi
menjadi dua yaitu SDA yang dapat diperbarui dan SDA yang tidak dapat
diperbarui. SDA yang dapat diperbarui meliputi tanah, tumbuhan, hewan dan Hutan.
Pengelolaan SDA tergantung
pada jenis kepemilikannya. Ada tiga jenis kepemilikan yang dikenal, yaitu
kepemilikan pribadi, kepemilikan negara, dan kepemilikan umum.
1.
Kepemilikan pribadi merupakan kepemilikan yang dapat
dimiliki secara individual seperti rumah, mobil, sawah, dll.
2.
Pemilikan negara merupakan kepemilikan pribadi yang
merupakan aset negara, seperti kantor pemerintahan, mobil inventaris, dll.
3.
Kepemilikan umum merupakan kepemilikan yang merupakan
milik semua rakyat, bukan milik pribadi dan bukan pula milik negara. Semua
bentuk pemilikan umum tidak boleh dikuasai secara individual, baik perorangan
ataupun perusahaan. Pengelolaan kepemilikan umum diwakilkan kepada negara yang
hasilnya dikembalikan kepada rakyat sebagai pemiliknya, Yang mana nantinya itu
semua diolah dan dikembalikan ke pada rakyat berupa subsidi untuk kebutuhan
primer (sandang, papan dan pangan) serta kebutuhan pendidikan, kesehatan dan
fasilitas umum. Dan salah satu contohnya Hutan.
Hutan sebagai sumber daya
alam yang terbarukan, memiliki berbagai manfaat penting bagi keberlangsungan
hidup mahluk hidup. Karena Hutan mempunyai fungsi yang beraneka ragam, antara
lain sebagai penghasil kayu dan hasil-hasil hutan lainnya serta sebagai pelindung
lingkungan dan penyangga kehidupan yang mengatur tata air, melindungi kesuburan
tanah, mencegah banjir dan tanah longsor, mencegah erosi, dan lain, lain.
Pengelolaan hutan yang baik harus dapat memberikan manfaat yang optimal bagi
masyarakat. Tidak hanya itu, pengelolaan hutan yang baik juga harus
memperhatikan aspek-aspek kelestarian hutan, seperti aspek ekologi, produksi,
serta sosial ekonomi dan budaya masyarakat sekitar hutan.
Kebijakan pengelolaan kehutanan di satu sisi dapat jugas
meningkatkan devisa negara. namun di sisi lain telah menyebabkan timbulnya berbagai
permasalahan ekonomi, sosial, dan lingkungan. Dari segi sosial ekonomi
masyarakat lokal, dampak pembangunan kehutanan tidak cukup nyata terhadap
peningkatan kesejahteraan. Kondisi ini menjadi tekanan yang menyebabkan
sulitnya mencapai pengelolaan hutan secara lestari. Salah satu contohnya adalah Pembalakan
liar atau penebangan liar (illegal logging).
Secara umum Penebangan
liar (illegal logging) adalah tindak kejahatan terhadap hutan yang merugikan
negara, tidak hanya secara ekonomi, tetapi juga secara sosial, dan lingkungan.
Potensi kerugian yang ditanggung negara akibat pembalakan liar mencapai Rp 83
miliar per hari atau Rp 30,3 triliun per tahun. Dan hampir memusnahkan tiga
perempat hutan alam di Indonesia. Luas areal hutan Indonesia yang hilang dalam
setahun setara dengan luas negara Swiss, yakni 41.400 kilometer persegi.
Dilihat
segi sosial dapat munculkan sikap kurang bertanggung jawab yang dikarenakan
adanya perubahan nilai dimana masyarakat pada umumnya sulit untuk membedakan
antara yang benar dan salah, serta antara baik dan buruk. Hal tersebut
disebabkan telah lamanya hukum tidak ditegakkan ataupun kalau ditegakkan,
sering hanya menyentuh sasaran yang salah. Perubahan nilai ini bukanlah sesuatu
yang mudah untuk dikembalikan tanpa pengorbanan yang besar.
Kerugian
dari segi lingkungan yang paling utama adalah hilangnya sejumlah pohon tertentu
sehingga tidak terjaminnya keberadaan hutan yang berakibat pada rusaknya lingkungan,
berubahnya iklim global, menurunnya produktivitas lahan, erosi dan banjir serta
hilangnya keanekaragaman hayati. Kerusakan habitat dan dapat menyebabkan
kepunahan suatu spesies termasuk fauna langka. Dan juga dapat menurunkan kadar
oksigen di udara.
Berubahnya
struktur dan komposisi vegetasi yang berakibat pada terjadinya perubahan
penggunaan lahan yang berakibat pada berubahnya fungsi kawasan tersebut,
sehingga kehidupan satwa liar dan tanaman langka lain yang sangat bernilai
serta unik sehingga tidak terjaga lagi kelestariannya. Dampak yang lebih parah
lagi adalah kerusakan sumber daya hutan akibat penebangan liar tanpa menerapkan
pengelolaan yang baik maka hutan dapat mencapai titik dimana upaya
mengembalikannya ke keadaan semula menjadi tidak mungkin lagi.
BAB II
CONTOH KASUS :
Perusahaan Inggris Tersangkut Kasus 'Illegal Logging'
Senin, 14 Januari 2013 | 11:07
[KUTAI] PT Prima
Mitrajaya Mandiri (PMM), yang kini 92,5 % dimiliki sahamnya oleh perusahaan
publik Inggris, yaitu MP Evan & Co Limited, diduga telah melakukan illegal
logging di atas lahan seluas 540 hektare di Kutai Kartanegara,
Kalimantan Timur.
“Perusahaan itu diduga melanggar Kawasan Budidaya Kehutanan (KBK) dengan mendirikan bangunan, gudang, rumah, dan kantor sejak tahun 2007 lalu. Bahkan, di lahan tersebut, PT PMM telah melakukan panen sawit,” kata Robin Siagian dan Henry Napitupulu dari Kantor Pengacara SNR, yang mewakili Halim Jawan, direksi yang juga pemegang saham minoritas PT PMM, di Jakarta, Senin (14/1).
“Perusahaan itu diduga melanggar Kawasan Budidaya Kehutanan (KBK) dengan mendirikan bangunan, gudang, rumah, dan kantor sejak tahun 2007 lalu. Bahkan, di lahan tersebut, PT PMM telah melakukan panen sawit,” kata Robin Siagian dan Henry Napitupulu dari Kantor Pengacara SNR, yang mewakili Halim Jawan, direksi yang juga pemegang saham minoritas PT PMM, di Jakarta, Senin (14/1).
Guna membuktikan
kebenaran illegal logging itu, pihaknya telah mendapatkan
surat konfirmasi dari Dirjen Planologi Kehutanan, Kementerian Kehutanan Nomor
S.1199/VII-KUH/2012 tanggal 5 Oktober 2012, yang menyebutkan bahwa lahan yang
dimaksud termasuk dalam lahan yang tertera dalam Keputusan Menteri Kehutanan
tentang penunjukan kawasan hutan dan perairan di wilayah Provinsi Kalimantan Timur,
yang sah dan mempunyai kekuatan hukum mengikat. “Perusahaan diduga telah melanggar Pasal 1 UU Kehutanan No 40 Tahun 1999,
yang menyebutkan bahwa kawasan hutan adalah kawasan tertentu yang ditunjuk dan
atau ditetapkan pemerintah untuk dipertahankan keberadaan sebagai hutan tetap,
dan karenanya setiap penggunaan dan atau pemanfaatan wilayah hutan atau Kawasan
Budidaya Kehutanan yang tidak sesuai dengan peruntukannya merupakan perbuatan
melawan hukum.” Katanya. Halim Jawan, saat ini sedang menghadapi tuntutan dari
mitra asingnya tersebut, dengan tuduhan penggelapan atas biaya pengurusan HGU
setelah Halim Jawan melaporkan kasus illegal logging tersebut
ke kepolisian. Menurut Robin, pada awalnya, Halim Jawan adalah pendiri PT PMM
dan PT Teguh Jayaprima Abadi (TJA),namun kemudian 92% sahamnya dibeli oleh MP
Evans & Co Ltd dan Sungkai Holdings Ltd.
Penyebab Perusahaan Inggris Tersangkut Kasus 'Illegal
Logging' :
1.
Perusahaan Inggris itu melanggar
Kawasan Budidaya Kehutanan (KBK) dengan mendirikan bangunan, gudang, rumah, dan
kantor sejak tahun 2007 lalu. Yang mana kawasan hutan tersebut termasuk dalam
lahan yang tertera dalam Keputusan Menteri Kehutanan tentang penunjukan kawasan
hutan dan perairan di wilayah Provinsi Kalimantan Timur, yang sah dan mempunyai
kekuatan hukum mengikat.
2.
Perusahaan melanggar Pasal 1 UU
Kehutanan No 40 Tahun 1999, yang menyebutkan bahwa kawasan hutan adalah kawasan
tertentu yang ditunjuk dan ditetapkan pemerintah untuk dipertahankan keberadaan
sebagai hutan tetap, dan karenanya setiap penggunaan dan atau pemanfaatan
wilayah hutan atau Kawasan Budidaya Kehutanan yang tidak sesuai dengan
peruntukannya merupakan perbuatan melawan hukum.
Identifikasi Akar Masalah dari
Illegal loging
Pembukaan kawasan hutan dalam skala besar untuk berbagai
keperluan pembangunan, dan penebangan kayu secara tidak sah (illegal logging),
perburuan satwa liar tanpa izin, penjarahan, perambahan, dan kebakaran hutan.
Eksploitasi yang tinggi tersebut menghadirkan kekhawatiran yang mendalam
terhadap masa depan hutan dan kehutanan di Indonesia. Berdasarkan lokasinya,
laju deforestasi terbesar terjadi di Kalimantan yaitu sebesar 0,55 juta ha per
tahun.
Selain itu tingginya permintaan kebutuhan kayu yang
berbanding terbalik dengan persediaannya. Yang mana tidak mampu mencukupi
tingginya permintaan kebutuhan kayu. Hal ini terkait dengan meningkatnya
kebutuhan kayu di pasar internasional dan besarnya kapasitas industri kayu dalam negeri/konsumsi lokal.
Tingginya permintaan terhadap kayu di dalam dan luar negeri ini tidak sebanding
dengan kemampuan penyediaan industri perkayuan. Ketimpangan antara persediaan
dan permintaan kebutuhan kayu ini mendorong praktik illegal logging di taman
nasional dan hutan konservasi.
Kegiatan
pembalakan liar tidak berdiri sendiri, namun saling terkait dalam suatu
jaringan bisnis kayu ilegal yang melibatkan para pemodal (cukong) pembalak
kayu, pengusaha transportasi kayu, pedagang kayu, industri pengolahan kayu, dan
oknum aparat penegak hukum.
Bank
Dunia mengungkapkan praktik pembalakan liar (illegal logging) di
Indonesia dijalankan oleh mafia. Dari pembalakan liar itu, organisasi kejahatan
tersebut mengalirkan sebagian keuntungannya kepada pejabat pemerintah yang
korup. Hal itu terungkap dari laporan analisis Bank Dunia terbaru,
bertajuk Justice for Forests: Improving Criminal Justice
Efforts to Combat Illegal logging yang dipublikasikan pada 21 Maret
2012. Selain Indonesia, praktik seperti itu terjadi di banyak negara, termasuk
beberapa negara di Afrika Barat. Akibat pembalakan liar berskala besar,
setiap tahun Indonesia kehilangan Rp36 triliun. Kebanyakan kayu hasil
pembalakan liar itu diselundupkan ke Luar Negeri.
Para Pelaku Illegal logging
Banyak
pihak yang terlibat dalam kegiatan illegal logging, jika pelakunya
hanya masyarakat sekitar hutan yang miskin tentu saja tindakan ini dengan
mudahnya dapat dihentikan oleh aparat kepolisian. Dari hasil identifikasi pelaku illegal logging, terdapat enam aktor
utama, yaitu :
1.
Cukong
yaitu pemilik modal yang membiayai kegiatan penebangan liar dan yang memperoleh
keuntungan besar dari hasil penebangan liar. Di beberapa daerah dilaporkan
bahwa para cukong terdiri dari anggota MPR, anggota DPR, pejabat pemerintah
(termasuk para pensiunan pejabat), para pengusaha kehutanan, oknum TNI dan
POLRI.
2.
Sebagian
masyarakat, khususnya yang tinggal di sekitar kawasan hutan maupun yang
didatangkan sebagai pelaku penebangan liar (penebang dan pengangkut kayu
curian).
3.
Sebagian
pemilik pabrik pengolahan kayu (industri perkayuan) skala besar, sedang, dan
kecil, sebagai pembeli kayu curian (penadah).
4.
Oknum
pegawai pemerintah (khususnya dari instansi kehutanan) yang melakukan KKN,
memanipulasi dokumen, dan tidak melaksanakan tugas pemeriksaan sebagaimana
mestinya.
5.
Oknum
penegak hukum (hakim, jaksa, polisi, TNI) yang bisa dibeli dengan uang sehingga
para aktor pelaku penebangan liar, khususnya para cukong dan penadah kayu
curian dapat terus lolos dengan mudah dari hukuman. Oknum TNI dan POLRI turut
terlibat, termasuk ada yang mengawal pengangkutan kayu curian di jalan-jalan
kabupaten/provinsi.
6.
Pengusaha
asing yang menyelundupkan kayu hasil curian ke Malaysia, Cina, dan ke negara
lain.
Karena illegal logging merupakan suatu
kejahatan, maka sebagian ahli lingkungan memandang sebagai kejahatan global yang
luar biasa. Pandangan ini begitu ekstrim oleh karena dampak praktek illegal logging, berlangsung dari
hari ke hari, semakin meningkat dengan tingkat kualitas dan modus operansi yang
kian kompleks. Sehingga amat mustahil praktik kejahatan illegal logging dapat
ditanggulangi tanpa mengggunakan pendekatan terpadu.
Pada
kenyataannya, tidak mudah bagi aparat penegak hukum untuk menyeret
aktor utama illegal logging.
Kondisi tersebut disebabkan 2 hal anatara lain :
1.
Praktik illegal logging tidak murni
berdiri sendiri, namun telah terbangun jaringan kerjasama yang merambah ke
praktik penyelundupan yang
melibatkan negara luar. Akibatnya praktik illegal logging sungguh bertambah banyak dari unsur tindak
pidana dan keterlibatan unsur asing. Sehingga tidak mengherankan sekiranya
kecenderungan umum praktik illegal logging juga memiliki sifat
kejahatan lintas negara (Trans-National Organized Crime). Suatu
kejahatan yang dilakukan bukan saja karena adanya unsur obyek dan subyek
melintas negara, melainkan karena adanya hubungan transaksional antara
negara-negara di sekitarnya.
2.
Kasus
Illegal logging sebagai kejahatan bioterrorisme yang luar biasa
mengandung unsur tindak pidana pencurian, pembunuhan berencana terhadap
keanekaragaman hayati termasuk bencana alam yang membahayakan umat manusia.
Pencucian uang (money laundry), tindak pidana korupsi, penyelundupan,
penggelapan dan bahkan terorisme.
Pemecahan Masalah
Beberapa cara agar permasalahan
illegal logging dapat diminimalisir untuk diberantas yaitu :
1.
Pencegahan illegal loging dapat
dilaksanakan dengan penentuan tujuan seperti terwujudnya pengamanan hutan,
pemulihan tanah serta terwujudnya pelestarian hutan.
2.
Pengembangan pengelolaan hutan
bersama masyarakat, dengan peningkatan pengawasan hutan serta pengembangan langkah
intensif sebagai upaya preventif dari tindakan illegal logging.
3.
Mensosialisasikan melalui
stakeholder dan masyarakat luas disekitar hutan agar merawat hutan dan
menyampaikan dampak buruk yang terjadi akibat illegal logging, serta dapat di informasikan
melalui media cetak maupun elektronik.
4.
Program yang bisa dilaksanakan
adalah pemantapan koordinasi dan pemberdayaan masyarakat serta pemantapan
pengawasan serta evaluasi berkala. Pemerintah Pusat dan Daerah
mengkoordinasikan penanggulangan illegal logging antara instansi terkait,
masyarakat dan swasta. Program yang diterapkan adalah pengelolaan hutan bersama
masyarakat dapat menekan penebangan liar ( illegal logging )
5.
Kebijakkan penanggulangan illegal
logging dilakukan melalui penegakan hukum yang lebih adil lagi agar memberikan
efek jera kepada para pelakunya.
6.
Penanggulangan illegal logging dapat dilakukan melalui kombinasi dari
upaya-upaya pencegahan (preventif), penanggulangan (represif) dan upaya
monitoring (deteksi).
7.
DPR RI dan Pemerintah harus segera
mengesahkan Rancangan Undang-undang Pencegahan dan Pemberantasan Pembalakan
Liar (RUU P3L) menjadi Undang-undang P3L, karena pemberantasan Illegal logging memerlukan payung hukum yang lebih
kuat.
BAB III
KESIMPULAN
Mengingat
besarnya kerugian dan potensi bencana yang mungkin timbul akibat pembalakan
liar (illegal logging), sepatutnya illegal logging dinyatakan sebagai suatu bentuk kejahatan
luar biasa, sehingga perlu dipertimbangkan untuk penggunaan pasal berlapis bagi
para pelakunya. Hal ini sangat penting dilakukan mengingat penanganan
kasus illegal logging hingga
saat ini terkesan masih kurang optimal, sebagaimana terlihat dari masih
banyaknya kasus illegal logging yang
proses hukumnya berhenti, dihentikan, atau menghasilkan vonis yang sangat
ringan bahkan banyak pula yang memperoleh vonis bebas.
Dengan
kata lain, kejahatan illegal logging merupakan suatu kejahatan
yang memiliki sifat luar biasa (extra ordinary crime), sebagaimana
kejahatan korupsi dan kejahatan terorisme, atau bioterrorism.
Karena itu, dalam penegakan hukum kejahatan illegal logging tidak
saja karena sifat perbuatannya telah melanggar peraturan hukum yang begitu
kompleks, yaitu pelanggaran terhadap Undang-undang Kehutanan, Undang-undang
Lingkungan Hidup, dan Undang-undang Tindak Pidana Korupsi. Dalam praktiknya
kejahatan ini juga dilakukan oleh suatu organisasi tertentu yang bersifat
lintas negara. Sehingga dalam penegakannya pun harus melibatkan keterpaduan
antarinstitusi penegak hukum serta Menteri Negara Lingkungan Hidup dan Menteri
Kehutanan.
Praktik
pengurusan dan pengelolaan hutan antara lain ditentukan oleh kebijakan
Pemerintah maupun Pemerintah Daerah serta implementasinya di lapangan. Dengan
penurunan kinerja pembangunan kehutanan yang telah terjadi, implementasi
kebijakan tersebut terbukti belum efektif. Efektivitas implementasi suatu
kebijakan dapat terjadi hanya apabila kebijakan dirumuskan atas dasar masalah
yang tepat serta terdapat kemampuan menjalankan solusinya di lapangan.
DAFTAR PUSTAKA
http://www.dpr.go.id/id/ruu/Korinbang/Komisi4/119/RUU-TENTANG-PENCEGAHAN-DAN-
PEMBERAN TASAN-PEMBALAKAN-LIAR-P3L.
Tidak ada komentar :
Posting Komentar